Konflik Lahan di Sanggau Memanas, Dua Plang Bertentangan Ungkap Klaim Ganda antara Pemerintah dan Masyarakat Adat

  • Bagikan

Sanggau, Kalbar, IndoTimeNews.com – Konflik kepemilikan lahan kembali mencuat di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menyusul viralnya foto dua papan pengumuman yang berdiri berdampingan namun menyampaikan pesan yang saling bertolak belakang. Kedua plang ini mencerminkan tarik menarik klaim atas lahan seluas 6.864,71 hektar antara pemerintah pusat dan Masyarakat Adat Dosan.

Plang pertama dipasang oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Dalam papan tersebut dinyatakan bahwa kawasan itu merupakan “Lahan Hutan Tanaman Industri dalam Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia.” Plang ini secara tegas melarang aktivitas apa pun di atas lahan tersebut tanpa izin, termasuk memasuki, merusak, menjarah, atau menguasai lahan, dengan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021.

Sebagai bentuk peringatan resmi, papan ini menegaskan kehadiran dan otoritas negara atas kawasan yang dianggap bagian dari aset kehutanan nasional.

Namun, tepat di sampingnya, berdiri plang lain yang dipasang oleh Masyarakat Adat Dosan. Plang ini menyatakan bahwa lahan tersebut adalah “Tanah Adat Tanah Leluhur Masyarakat Adat Dosan Bukan Tanah Negara.” Mereka menegaskan bahwa tanah itu telah dikelola secara turun-temurun oleh komunitas adat mereka sejak lama, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia.

Klaim masyarakat adat ini diperkuat dengan dasar hukum yang tak kalah kuat, antara lain:

UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya,

Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,

serta Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 1 Tahun 2017, yang secara eksplisit mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat di wilayah tersebut.

Kehadiran dua plang ini mencerminkan konflik interpretasi hukum antara kebijakan pusat yang fokus pada pembangunan dan perlindungan kawasan hutan, dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di tingkat daerah.

Situasi ini dikhawatirkan dapat memicu konflik agraria terbuka apabila tidak segera ditangani secara adil dan bijaksana. Perlu adanya dialog terbuka antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perwakilan masyarakat adat untuk mencari jalan keluar yang mengedepankan keadilan dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak konstitusional.

Penyelesaian kasus ini akan menjadi preseden penting dalam menentukan bagaimana negara menyeimbangkan pembangunan nasional dengan komitmen terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang telah diakui dalam konstitusi dan berbagai regulasi nasional maupun lokal.

  • Bagikan